Ust.
Firanda berkata:
“Telah lalu tulisan saya tentang
pengingkaran para ulama Syafi'iyah terhadap acara ritual tahlilan (silahkan
dibaca kembali di Tahlilan adalah Bid'ah Menurut Madzhab Syafi'i.
Dan hingga saat ini saya masih berharap masukan dari para ustadz-ustadz ASWAJA
yang mengaku bermadzhab Syafi'iyah untuk mendatangkan nukilan dari ulama
syafi'iyah yang mu'tabar dalam madzhab mereka yang membolehkan acara ritual
tahlilan!!!”
Bid’ah dalam kitab-kitab Syafiiyah
jangan anda samakan dengan bid’ah versi Wahabi. Dalam kitab Syafiiyah bahkan 4
madzhab lainnya yang menyebut bid’ah makruhah bukanlah sesuatu yang diharamkan.
misalnya dalam kitab Ianat ath-Thalibin 1/313 yang mengutip pembagian bid’ah
menjadi 5 dari Ibn Abdissaalam:
“Diantara contoh bid’ah makruhah
adalah memegahkan masjid”
Maka Masjidil Haram, Masjid Nabawi
dan sebagainya yang dibangun begitu bagus dan mewah adalah bid’ah yang makruh,
namun justru ulama Wahabi di Arab tidak ada yang melarangnya.
Adalah sesuatu yang aneh jika suatu
kelompok menyalahkan kelompok lain dengan menggunakan metode berfikirnya
sendiri, yang jelas tidak sama jalan berfikirnya dengan kelompok yang
dibencinya.
Ust. Firanda berkata:Dalam tulisannya di status di facebook yang berjudul TRADISI KENDURI KEMATIAN, Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan ulama madzhab fikih syafi'i yang mendukungnya dalam membolehkan kenduri Tahlilan. Akan tetapi al-ustadz berpindah ke madzhab maliki dan menyebutkan bahwa madzhab maliki bahkan Imam Malik bin Anas rahimahullah membolehkan kenduri kematian.
Jawaban
Saya:
“Inilah
diantara pendapat ulama Syafiiyah yang muktabar”:
Tradisi tahlilan dan memberi
sedekah di hari-hari tertentu setelah ditelusuri sebenarnya tidak hanya menjadi
kebiasaan umat Islam di Jawa. Jauh sebelum itu, yakni di masa Ibnu Hajar
al-Haitami al-Syafi'i (1504-1567 M dan beliau memiliki banyak pengikut di
wilayah Yaman) pernah ditanya mengenai hal diatas dan beliau memfatwakan bahwa
perbuatan itu tidak diharamkam meskipun terbilang sesuatu yang baru. Bahkan
dengan niat-niat tertentu pelakunya akan mendapatkan pahala. Berikut fatwa
beliau:
(وَسُئِلَ) أَعَادَ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ
بَرَكَاتِهِ ... عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ
لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا
يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ
اللاَّتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوْا بِذَلِكَ إلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ
أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَهُمْ
خَسِيْسًا لاَ يَعْبَئُوْنَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ
فِي غَيْرِ اْلأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازٌ
وَغَيْرُهُ ... وَعَنْ الْمَبِيْتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ
مَوْتِهِ ِلأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ ؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ ما يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ
فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إلاَّ إنْ
فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ
مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ
يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوْهُ
بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ لَوِ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ
الْكَيْفِيَّةِ ... وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيْتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَسْلِيَةٌ
لَهُمْ أَوْ جَبْرٌ لِخَوَاطِرِهِمْ لَمْ يَكُنْ بِهِ بَأْسٌ ِلأَنَّهُ مِنَ الصِّلاَتِ
الْمَحْمُودَةِ الَّتِي رَغَّبَ الشَّارِعُ فِيْهَا وَالْكَلاَمُ في مَبِيْتٍ لاَ يَتَسَبَّبُ
عَنْهُ مَكْرُوْهٌ وَلاَ مُحَرَّمٌ وَإِلاَّ أُعْطِيَ حُكْمَ مَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ
إذْ لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ وَاَللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
(الفتاوى الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمي الشافعي 2 / 7)
"(Ibnu
Hajar al-Haitami) ditanya mengenai hal yang dilakukan pada hari ketiga setelah
kematian dengan menghidangkan makanan orang-orang fakir dan lainnya, begitu
pula pada hari ketujuh dan setelah sebulan. Mereka tidak melakukan hal ini
kecuali untuk mengikuti tradisi penduduk setempat. Hingga jika ada diantara
mereka ada yang tidak melakukannya, maka mereka kurang disenangi. Apakah jika
mereka yang bertujuan melakukan tradisi dan sedekah, atau sekedar mengikuti
tradisi, bagaimana tinjauan hukumnya, boleh atau tidak? Ibnu Hajar al-Haitami
juga ditanya mengenai menginap di rumah duka hingga melewati masa satu bulan,
sebab hal itu seperti kewajiban. Apa hukumnya? (Ibnu Hajar) menjawab: Semua
yang terdapat dalam pertanyaan adalah bid'ah yang tercela tapi tidak haram.
Kecuali bila dilakukan untuk meratapi mayit. Dan seseorang yang melakukannya
bertujuan untuk menghindari ucapan orang-orang bodoh dan dapat merusak
reputasinya jika meninggalkannya, maka ada harapan dia memperoleh pahala. Hal
ini berdasarkan perintah Rasulullah Saw tentang seseorang yang hadats dalam
salat untuk memegang hidung dengan tangannya.[1] Para ulama mengemukakan alasan untuk menjaga nama
baiknya jika tidak melakukan cara seperti ini. Dan jika menginap di rumah duka
bisa menghibur keluarganya dan bisa menentramkannya, maka tidak apa-apa bahkan
ini bagian dari cara merajut hubungan yang terpuji, sebagaimana dianjurkan oleh
syariat. Tema ini terkait menginap yang tidak menimulkan hal-hal makruh atau
haram. Jika ini terjadi maka berlaku hukum sebaliknya, karena sebuah sarana
memiliki hukum yang sama dengan tujuannya. Wallahu A'lam bi Shawab." (al-Fatawa
al-Fiqhiyyah al-Kubra, Ibnu Hajar al-Haitami, II/7)
Sementara
di Nahdlatul Ulama tidaklah terpaku hanya dalam 1 madzhab, tapi 4 madzhab
sebagaimana dalam Qanun Asasi.
Seorang ulama dari kalangan
Hanafiyah, Syaikh al-Thahthawi (1231 H), mengutip pendapat dari Syaikh Burhan
al-Halabi yang membantah hukum makruh dalam selametan 7 hari:
قَالَ فِي الْبَزَّازِيَّةِ يُكْرَهُ اِتِّخَاذُ الطَّعَامِ
فِي اْليَوْمِ اْلأَوَّلِ وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ
إِلَى الْمَقْبَرَةِ فِي الْمَوَاسِمِ وَاتِّخَاذُ الدَّعْوَةِ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
وَجَمْعِ الصُّلَحَاءِ وَالْقُرَّاءِ لِلْخَتْمِ أَوْ لِقِرَاءَةِ سُوْرَةِ اْلأَنْعَامِ
أَوِ اْلإِخْلاَصِ اهـ قَالَ الْبُرْهَانُ الْحَلَبِي وَلاَ يَخْلُوْ عَنْ نَظَرٍ
ِلأَنَّهُ لاَ دَلِيْلَ عَلَى اْلكَرَاهَةِ (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح شرح
نور الإيضاح 1 / 409)
"Disebutkan dalam
kitab al-Bazzaziyah bahwa makruh hukumnya membuat makanan di hari pertama,
ketiga dan setelah satu minggu, juga memindah makanan ke kuburan dalam
musim-musim tertentu, dan membuat undangan untuk membaca al-Quran, mengumpulkan
orang-orang sholeh, pembaca al-Quran untuk khataman atau membaca surat al-An'am
dan al-Ikhlas. Burhan al-Halabi berkata: Masalah ini tidak lepas dari
komentar, sebab tidak ada dalil untuk menghukuminya makruh[2]"
(Hasyiyah al-Thahthawi I/409)
Bantahan
ini diperkuat oleh pernyataan Syaikh al-Qari dengan beristinbath pada
hadis riwayat Abu Dawud:
قَالَ الْعَلاَّمَةُ الْقَارِي فِي الْمِرْقَاةِ
بَعْدَ ذِكْرِ حَدِيْثِ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ الْمَذْكُوْرِ مَا نَصُّهُ هَذَا
الْحَدِيْثُ بِظَاهِرِهِ يَرُدُّ عَلَى مَا قَرَّرَهُ أَصْحَابُ مَذْهَبِنَا مِنْ
أَنَّهُ يُكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي الْيَوْمِ اْلأَوَّلِ أَوِ الثَّالِثِ
أَوْ بَعْدَ اْلأُسْبُوْعِ كَمَا فِي الْبَزَّازِيَّةِ (رفع الاشكال للشيخ اسماعيل اليمني وإبطال المغالاة في حكم الوليمة من أهل الميت بعد
الوفاة 4)
"Syaikh al-Qari berkata dalam kitab al-Mirqat, setelah
mengutip hadis dari 'Ashim bin Kulaib di atas, bahwa: Hadis ini secara jelas
membantah keputusan ulama madzhab kita (Hanafiyah) mengenai larangan membuat
makanan pada hari pertama, ketiga atau ketujuh, sebagaimana dalam kitab
al-Bazzaziyah"[3]
Syaikh al-Thahthawi kemudian
membandingkan antara riwayat atsar dari Jarir bin Abdillah tentang
larangan membuat makanan oleh keluarga mayat dengan hadis sahih yang
menjelaskan bahwa Rasulullah memenuhi undangan seorang istri sahabat yang wafat
dan memakan hidangannya, pada akhirnya al-Thahthawi menyimpulkan:
فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ صُنْعِ أَهْلِ الْمَيِّتِ الطَّعَامَ
وَالدَّعْوَةِ إِلَيْهِ بَلْ ذُكِرَ فِي الْبَزَّازِيَّةِ أَيْضًا مِنْ كِتَابِ اْلاِسْتِحْسَانِ
وَإِنِ اتَّخَذَ طَعَامًا لِلْفُقَرَاءِ كَانَ حَسَنًا ا هـ (حاشية الطحطاوي على مراقي
الفلاح شرح نور الإيضاح 1 / 410)
"Hadis ini (riwayat 'Ashim bin Kulaib) menunjukkan
diperbolehkannya bagi keluarga yang meninggal untuk membuat makanan dan
mengundang orang lain. Bahkan disebutkan dalam kitab
al-Bazzaziyah juga secara metode Istihsan, yaitu bila membuatkan makanan untuk
orang-orang fakir maka hukumnya bagus" (Hasyiyah
al-Thahthawi I/410)
Ust. Firanda berkata:“Ali bin Zaid bin Jud'aan adalah perawi yang dho'iif (lemah) bahkan tertuduh terpengaruh faham tasyayyu' (syi'ah), silahkan merujuk ke kitab-kitab berikut (Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal 401 no 4734, Tahdziibut Tahdziib karya Ibnu Hajar 7/283-284 no 545, Al-Mughniy fi Ad-Du'afaa karya Adz-Dzahabi 2/447, dan Al-Majruuhiin karya Ibnu Hibbaan 2/103-104)”Ust Firanda menilai Dhaif terhadap atsar Sayidina Umar yang berwasiat memberi makanan setelah beliau wafat.
Jawaban
Saya:
“penilaian
Ust Firanda bertentangan dengan al-Hafidz al-Haitsami. Berikut penilaian beliau:
(رواه الطبراني وقال الهيثمي وفيه علي
بن زيد وحديثه حسن وبقية رجاله رجال الصحيح اهـ مجمع الزوائد ومنبع الفوائد 5 /
354 والمطالب العالية بزوائد المسانيد للحافظ ابن حجر ج 1 / ص 286 واتحاف الخيرة المهرة
بزوائد المسانيد العشرة للحافظ البوصيري 2 / 153 وتاريخ بغداد للخطيب البغدادي 12
/ 3574 ومناقب لابن الجوزي 233 بدون إسناد)
(Diriwayatkan oleh al-Thabrani, al-Hatsami
berkata: Dalam riwayat tersebut terdapat perawi Ali bin Zaid (bin Judz'an)
ia hadisnya berstatus Hasan, dan perawi lainnya adalah perawi Sahih. Juga
diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah I/286,
al-Bushiri dalam Ithaf al-Khiyarah II/153, Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh
Baghdad XII/357 dan Ibnu al-Jauzi dalam al-Manaqib 233, tanpa
mencantumkan sanad)
Ust. Firanda berkata:Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: (Tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd: "Dari Sufyan berkata: "Thawus berkata: "Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut."Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya' (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-'Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi)) Demikianlah perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli. Pendalilan ini pulalah yang dipaparkan oleh Kiyai Tobari Syadzili (http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
KRITIKAN (ust Firanda): Ustadz Muhamad Idrus Ramli telah menyebutkan takhrij atsar ini dengan baik. Akan tetapi perlu pembahasan dari dua sisi, sisi keabsahan atsar ini, dan sisi kandungan atsar ini.
Jawaban
Saya:
Apa
yang disampaikan oleh Ust Idrus Ramli
dan Kyai Thobari Syadzili telah sesuai dengan pemaparan ahli hadis al-Hafidz
as-Suyuthi:
فَائِدَةٌ
رَوَى أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ فِي الزُّهْدِ وَأَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ
عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا
يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ إِسْنَادُهُ
صَحِيْحٌ وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عَمِيْرٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ
أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيْحٌ أَيْضًا وَذَكَرَ ابْنُ رَجَبَ فِي
اْلقُبُوْرِ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ اْلأَرْوَاحَ عَلَى الْقُبُوْرِ سَبْعَةَ
أَيَّامٍ مِنْ يَوْمِ الدَّفْنِ لاَ تُفَارِقُهُ وَلَمْ أَقِفْ عَلَى سَنَدِهِ (الديباج
على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
"Ahmad
meriwayatkan dalam kitab Zuhud dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah dari Thawus bahwa 'sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di
kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada
7 hari tersebut'. Sanad riwayat ini sahih dan berstatus hadis marfu'.
Ibnu Juraij menyebutkan dalam kitab al-Mushannaf dari Ubaid bin Amir bahwa
'orang mukmin mendapatkan ujian (di kubur) selama 7 hari, dan orang munafik
selama 40 hari'. Sanadnya juga sahih. Ibnu Rajab menyebutkan dalam kitab
al-Kubur dari Mujahid bahwa 'arwah berada dalam kubur selama 7 hari sejak
dimakamkan dan tidak berpisah'. Tetapi saya tidak menemukan sanadnya"
(al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)
Oleh : Ust. Muhammad Ma'ruf Khozin (Narasumber Hujjah Aswaja di TV9 Surabaya)
[1] HR
Abdurrazzaq No 3606 dan al-Baihaqi No 3202 Al-Hafidz al-Bushiri berkata:
"Sanad hadis ini perawinya adalah orang-orang terpercaya" (Ithaf
al-Khiyarah II/72)
[2] Burhan al-Halabi memperbolehkan hal tersebut.
Ini menunjukkan bahwa di masa itu sudah ada tradisi mengundang ulama dan orang
lain untuk membaca al-Quran yang dihadiahkan bagi para al-Marhum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar