Tasawuf
Ibn Atha’illah al-Sakandari
Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-‘Atha’iyah
oleh Abdul Moqsith Ghazali
Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-‘Atha’iyah
oleh Abdul Moqsith Ghazali
Pengantar
Kitabal-Hikam buah
tangan Ibn Atha’illah al-Sakandari adalah salah satu kitab tasawuf terkenal di
Indonesia. Menurut Martin Van Bruinessen, Abdu al-Shamad al-Palimbani adalah
orang Indonesia pertama yang mengkaji dan memperkenalkan kitab-kitab tasawuf
berhaluan Syadziliyah ini ke Nusanatara, lalu disusul beberapa ulama lain.
Hingga kini, sejumlah pesantren terutama di Jawa dan Madura aktif membacakan
kitab al-Hikamterhadap para santri. Kitab ini tak hanya diajarkan
di madrasah, melainkan juga di mesjid dan mushalla pondok pesantren
secara bandongan. Di bulan Ramadan, para kiai atau para ustadz
membacakan kitab al-Hikam di hadapan para santri secara maraton.
Rasanya, tak ada santri pondok pesantren yang tak pernah mendengar nama bahkan
yang tak mengkaji kitab tasawuf ini. Kitab ini dijadikan sebagai standar etis
untuk membenahi problem-problem moral di tengah masyarakat.
Belakangan, kitab al-Hikam tak
hanya dikaji santri pondok pesantren melainkan juga para eksekutif muslim dan
kalangan sosialita di kota-kota besar seperti Jakarta. Saya sendiri kerap
diundang beberapa kelompok kajian di Jakarta sekedar untuk menjelaskan
pokok-pokok bahasan dan untaian hikmah yang terkandung dalam kitab al-Hikam ini.
Dalam membahas dan mengurai makna kitab ini, saya dipermudah dengan tersedianya
sejumlah kitab-kitab penjelas (syarh) terhadap al-Hikam.
Brockelmann mencantumkan 17 syarahatas kitab al-Hikam ini. Namun,
dalam menjelaskan kitab ini saya merujuk kepada tiga kitab syarah al-Hikam,
yaitu: (1). Syarh al-Hikam yang ditulis Ibn ‘Ubbad al-Nafari
al-Randi (w. 796 H./ 1394 M.). Kitab syarah ini, sejauh yang bisa saya pantau,
adalah kitab syarah yang cukup populer di pesantren; (2). Al-Hikam
al-‘Atha’iyahkarya Abi al-Abbas Ahmad ibn Muhammad Zarruq (w. 899 H./1394
M.); (3).Ib’ad al-Ghumam ‘an Iyqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam buah
tangan Ahmad ibn Muhammad ibn Ajibah al-Hasani. Kitab ini merupakan syarah
terhadap syarah hikam, Iyqadh al-Hikam.
Di Indonesia sendiri
terdapat sejumlah karya terjemahan al-Hikam yang diterbitkan oleh beberapa
penerbit bahkan hingga dicetak berulang-ulang. Ini menunjukkan bahwa antusiasme
umat Islam Indonesia untuk mengkaji kitab ini sangat tinggi. Saya menangkap ini
sebagai fenomena positif, bahwa di tengah guncangan moral yang menimpa publik
Indonesia, ada individu-individu yang bersemangat untuk meningkatkan moral
privat. Mereka tak hanya berkehendak untuk menjalani ritual peribadatan secara
rutin, melainkan juga bagaimana ibadah ritual itu berdampak secara sosial.
Siapa Ibn
Atha’illah al-Sakandari
Nama lengkap pengarang
kitab al-Hikam ini adalah Tajuddin Abu al-Fadl Ahmad ibn
Muhammad ibn Abdul Karim ibn ibn Abdurrahman ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain
Atha’illah al-Judzami al-Maliki al-Syadzili al-Iskandari. Ia diperkirakan lahir
pada tahun 658 H. di kota Iskandariah Mesir. Lahir dari keluarga keturunan Arab.
Ia juga dinisbatkan kepada Judzam, karena nenek moyangnya berasal dari Judzam
yang konon merupakan salah satu Kabilah Kahlan yang bermuara pada Ya’rib ibn
Yasyjub ibn Qahthan (Qahthaniyah), dikenal sebagaial-‘Arab al-Aribah.
Disebut al-Maliki, karena dari sudut fikih, Ibn Athaillah bermadzhab Maliki. Ia
juga disebut al-Syadzili, karena ia memang pengikut tarekat Syadziliyah
bahkan mursyid tarekat ketiga setelah Abi al-Abbas al-Mursi
dan Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656 H./ 1258 M.) (sang pendiri tarekat Syadziliyyah).
Sebelum melebur ke dalam
dunia spiritual, seperti umumnya para pelajar Islam, Ibn Atha’illah terlebih
dahulu belajar ilmu tafsir, hadits, fikih, nahwu, ushul fikih, dan sebagainya.
Ketika remaja, Ibn Atha’illah sudah belajar fikih pada seorang ulama terkenal,
yaitu Nashiruddin al-Judzami. Tumbuh dari keluarga ahli fikih, kakek Ibn
Atha’illah berharap agar sang cucu kelak melanjutkan tradisi intelektual
keluarga yang menekuni bidang fikih. Bahkan, sang kakek bisa disebut sebagai
ahli fikih yang anti tasawuf (anna jadd Ibn Atha’illah kana faqihan
mu’aridhan li al-naz’ah al-shufiyah). Itu sebabnya, Ibn Athaillah juga
menentang sejumlah ajaran tasawuf. Bahkan, sebelum menentukan pilihan untuk
berguru pada Abi al-Abbas al-Mursi (w. 686 H./1288 M.), Ibn Atha’illah terlebih
dahulu menyangkal sang guru. Ia berkata bahwa pada mulanya saya termasuk
kelompok penentang al-Mursi. Segala apa yang aku dengar darinya aku sangkal.
Hingga sampai suatu masa saya mendatangi majelis pengajiannya dan aku
mempercayainya. Al-Mursi-lah yang menyebabkan Ibn Atha’illah berfokus
pada tasawuf. Dalam perkembangannya Ibn Atha’illah lebih dikenal sebagai ahli
tasawuf dan bukan sebagai ahli fikih.
Pengetahuannya yang
mendalam di bidang tasawuf, ia buktikan dengan banyaknya karya intelektual Ibn
Atha’illah bercorak tasawuf. Karya-karya tasawuf ini banyak terkait dengan
petunjuk membangun relasi baik antara manusia dengan Tuhannya (‘alaqah
al-‘abdi bi rabbihi) dan antara seorang murid dengan gurunya (‘alaqah
al-murid ma’a syaikhihi). Ada yang berkata, tak kurang dari 22 buah buku
yang pernah ditulis Ibn Atha’illah sepanjang karir intelektualnya. Di antaranya
adalah; [1]. Al-Hikam al-Atht’iyyah; [2] al-Tanwir fi
Isqath al-Tadbir; [3]. Latha’if al-Minan fi Manaqib al-Syaikh Abi
al-Abbas al-Mursi wa Syaikhihi al-Syadzili Abi al-Hasan. Kitab ini
berisi tentang doktrin dan kisah kewalian dua senior Ibn Atha’illah, yaitu Abu
al-Hasan al-Syadzili dan Abu al-Abbas al-Mursi; [4]. Taj al-‘Arus
al-Hawi li Tahdzib al-Nufus; [5]. Miftah al-Falah wa Mishbah
al-Arwah fi Dzikri Allah al-Karim al-Fattah. Kitab ini memuat tentang
hakekat dzikir, jenis-jenis, dan kegunaannya; [6]. Al-Qawl al-Mujarrad
fi al-Ism al-Mufrad. Kitab yang terakhir ini konon dirancang untuk
menghadapi serangan Ibn taymiyah yang menolak tasawuf.
Kealiman, kedalaman
renungan spiritual, dan kekayaan pengalaman batin Ibn Atha’illah menyebabkan
banyak orang belajar padanya. Murid-muridnya menyebar di mana-mana, tak hanya
di Iskandariyah--tempat yang bersangkutan dilahirkan, melainkan juga di
Kairo--tempat ia mengembangkan diri sebagai seorang sufi. Ia meninggal dunia di
Madrasah al-Manshuriyah Mesir pada 13 Jumadzil Akhir tahun 709 H. Jenazahnya
dikuburkan di Qarrafah al-Kubra. Ribuan orang mengantar jenazahnya
ke liang lahat dan hingga kini kuburannya masih ramai dikunjungi para pelayat.
Isi
Buku
Kitab al-Hikam mendapatkan
banyak pujian, baik dari segi kedalaman isinya maupun dari pilihan katanya.
Tentang isinya, Abdul Halim Mahmud berkata bahwa kitab al-Hikam memberikan ilmu
dan cahaya (tufidu al-‘ilm wa al-nur), sedangkan dari diksinya, Muhammad
Abduh berkata bahwa kitab ini hampir saja serupa dengan al-Qur’an (kada
kitab al-hikam yakunu qur’anan). Kata-kata pilihan Ibn Atha’illah yang
terekam dalam buku ini telah menyihir banyak orang. KH Mustofa Bisri, wakil
Ra’is Am PBNU, berkata bahwa aporisme al-Hikambahasanya luar
biasa--kata dan makna saling mendukung, melahirkan ungkapan-ungkapan yang
menggetarkan.
Dari sudut isi, kitab ini
hanya berisi puluhan kata hikmah yang merupakan hasil permenungan atau
pengalaman spiritual penulisnya. Berbeda dengan karya-karyanya yang lain
seperti Lathaif al-Minan, Miftah al-Falah, dan Taj
al-‘Arusyang rimbun dengan kutipan al-Qur’an dan Hadits, maka di
dalam al-Hikam ini Ibn Atha’illah terkesan pelit merujuk
kepada ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks Hadits. Walau demikian, seperti juga
dianut guru-gurunya, Ibn Atha’illah konsisten pada ajaran tasawuf akhlaqi dan
bukan yangfalsafiseperti corak tasawuf Abu Manshur al-Hallaj (w. 309
H.), Ibn Arabi (w. 632 H.), dan lain-lain. Ia berusaha untuk memadukan antara
syariat dan hakikat. Ini terlihat ketika ia menafsirkan ayat al-Qur’an, iyyaka
na’bu wa iyyaka nasta’in. Menurutnya, iyyaka na’budu itu
adalah syariat, sedangkaniyyaka nasta’in adalah haqiqat; iyyaka
na’budu itu adalah islam, sedangkaniyyaka nasta’in adalah ihsan;
iyyaka na’budu itu adalah ‘ubudiyah, sedangkan iyyaka
nasta’in adalah ‘ubudah.
Sebagai pemikir tasawuf
yang bercorak khuluqi-‘amali, Ibn Atha’illah masuk ke dalam
pembahasan terminal-terminal spiritual (maqamat) yang sebelumnya telah
dirintis oleh al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H.), Abu Nashr al-Sarraj (w. 378
H./ 988 M.), al-Kalabadzi (w. 380 H.), al-Qusyairi (w. 465 H./1072 M.), Abu
Hamid al-Ghazali (505 H.). Di dalam kitab al-Hikam ini, sekalipun tak
disistematisasikan seperti yang dilakukan pemikir tasawuf lain, Ibn Atha’illah
membahas tentang maqam-maqam spiritual seperti taubat, zuhud,
shabar, tawakkal, dan ridha. Ia juga membahas tentang ahwal sepertikhauf-raja’,tawadhu’,
ikhlas, dan syukr. Bahkan, Ibn Atha’illah membahas tentang ma’rifat,
fana-baqa, dan mahabbah. Namun, tak seperti para sufi lain
yang banyak mendasarkan maqamat dan ahwal pada
al-Qur’an dan Hadits, maka Ibn Atha’illah dalam kitab ini--seperti dikatakan
sebelumnya-- lebih banyak bertumpu pada pengalaman batin yang bersangkutan.
Tentangmaqamat itu,
Ibn Atha’illah menjelaskannya sebagai berikut.Pertama, taubat. Bagi Ibn
Atha’illah, seorang salik (orang yang berjalan menuju Allah)
harus terlebih dahulu membersihkan diri dari dosa-dosa. Ibn Atha’illah berkata,
“min ‘alamat mawt al-qalb ‘adam al-khuzn ‘ala ma fataka min al-muwafaqat wa
tark al-nadam ‘ala ma fa’altahu min wujud al-zallat” [di antara tanda
matinya hati adalah tidak adanya kesedihan atas kesempatan beribadah yang
engkau lewatkan, dan tiadanya penyesalan atas kesalahan yang engkau lakukan].
Namun, ia segera menegaskan
bahwa banyaknya dosa yang dilakukan seseorang tak boleh menyebabkan seseorang
putus pengharapan akan ampunan Allah. Ia berkata, “la ya’zhumu al-danbu
‘indaka ‘azhamatan tashudduka ‘an husn al-zhann bi Allah ta’ala. Fa inna man
‘arafa rabbahu, istashghara fi janbi karamihi dzanbuhu” [Dosa besar tak
boleh menghalangimu untuk berbaik sangka kepada Allah. Sebab, siapa yang
mengenal Tuhannya, akan tahu bahwa dosanya kecil belaka dibanding kemurahan
Allah]. Selanjutnya, ia berkata, “idza waqa’a minka dzanbun fala yakun
sababan liya’sika min hushul al-istiqamah ma’a rabbika faqad yakunu dzalika
akhira dzanbin quddira ‘alaika” (apabila engkau terjatuh dalam dosa, maka
jangan sampai itu menjadi sebab keputus-asaanmu dalam memperoleh istiqamah
dengan Tuhanmu. Sebab, boleh jadi itulah dosa terakhir yang ditakdirkan Allah
kepadamu).
Walau begitu, menurut Ibn
Atha’illah, dosa kecil pun tak boleh menyebabkan seseorang terlengah. Ia
berkata, “la shaghirata idza qabalaka ‘adluhu wa la kabirata idza wajahaka
fadhluhu” (tak ada dosa kecil [yang tak akan diadili] bila dihadapkan
keadilan Tuhan, dan tak ada dosa besar jika dihadapkan pada karunia-Nya).
Kedua, zuhud
yang sering dipahami sebagai usaha untuk meninggalkan kemewahan dunia dan
memilih hidup sederhana. Bahkan, seorang zahid berusaha mengosongkan seluruh
kecenderungan duniawi dalam hatinya. Ibn Atha’illah berkata, “innama
ja’alaha mahallan li al-aghyar wa ma’dinan li al-akdar tazhidan laka fiha”
(Allah sengaja menciptakan dunia sebagai tempat tipu daya dan sumber kekotoran
dengan maksud agar dengan itu dunia dirasa menjemukan). Hanya dengan cara itu,
maka urusan duniawi tak memenuhi seluruh sanubari salik. Karena itu,
Ibn Atha’illah berkata, “farrigh qalbaka min al-aghyar yamla’uhu bi
al-ma’arif wa al-asrar” (kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah,
maka Allah akan memenuhinya dengan pengetahuan dan rahasia). Sebaliknya, orang
yang mencintai sesuatu, maka ia akan menjadi sesuatu itu. Ibn Atha’illah
berkata, “ma ahbabta syai’an illa kunta lahu ‘abdan, wa huwa la yuhibbu an
takuna li ghairihi ‘abdan” (tidaklah engkau mencintai sesuatu kecuali bahwa
bahwa engkau akan menjadi budak sesuatu, sementara Dia (Allah) tidak berkenan
sekiranya engkau menjadi budak dari selain-Nya). Ia juga menegaskan bahwa
kehinaan muncul sebagai akibat ketamakan. Ia berkata, “ma basaqat aghshanu
dzull illa ‘ala bidzri thama’in” (tidak tumbuh dahan-dahan kehinaan kecuali
dari benih ketamakan”.
Ketiga, shabr,
yaitu sabar dalam menjalankan perintah-perintah dan dalam menjauhi
larangan-larangan Allah, serta menerima segala ujian dan cobaan yang ditimpakan
Allah kepada dirinya. Namun, tak seluruh orang bisa sabar menghadapi pedihnya
penderitaan. Ibn Atha’illah berkata, “li yukhaffif alam al-bala’ ‘alaika
‘ilmuka bi annahu Subhanahu wa Ta’ala huwa al-mubli laka. Fa alladzi wajahatkan
minhu al-aqdar huwa alladzi ‘awwadaka husna al-ikhtiyar” (pedihnya ujian
bisa diringankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah lah sang pemberi ujian. Yang
mendatangkan ujian-takdir kepadamu adalah Dia (Allah) yang juga bisa
menganugerahkan pilihan-pilihan terbaik buatmu”.
Bahkan, menurut Ibn
Atha’illah, datangnya kesulitan merupakan pesta pora bagi orang yang berharap
perjumpaan dengan Tuhan (wurud al-faqat a’yad al-muridin). Sebab, boleh
jadi seseorang akan memperoleh pengalaman batin dalam penderitaan, apa yang tak
bisa diperoleh dalam puasa dan shalat yang kita lakukan (rubbama
wajadta min al-mazidi fi al-faqat ma la tajiduhu fi al-shaum wa al-shalat).
Bahkan, demikian Ibn Atha’illah, bermacam ujian itu hakekatnya adalah hamparan
pemberian (al-faqat busuth al-mawahib). Dengan demikian, menurut Ibn
Atha’illah, datangnya ujian kepada seseorang tak hanya meniscayakan kesabaran
dari yang bersangkutan melainkan syukur kepada Tuhan, karena di balik ujian itu
ada karunia yang hendak diberikan. Merenungkan apa yang diungkap Ibn Atha’illah
ini rasanya memang tak ada jalan pintas untuk sampai kepada Tuhan.
Keempat,
tawakkal, yaitu berserah diri hanya kepada Allah. Ibn Atha’illah berkata, “min
‘alamat al-najahi fi al-nihayat al-ruju’ ila Allah fi al-bidayat” (di
antara tanda keberhasilan pada ujung perjuangan adalah berserah diri kepada
Allah semenjak permulaan). Menurut Ibn Atha’illah, tak ada pilihan lain bagi
seorang hamba selain tawakkal kepada Allah. Karena segala sesuatu itu akan
berjalan sesuai kehendak Allah dan bukan oleh kehendak yang lain. Ia berkata, “ila
al-masyi’ati yastanidu kullu syai’in, wa la tastanidu hiya ila syai’in”
(segala sesuatu bertumpu pada kehendak Allah, dan kehendak Allah tak bersandar
pada apa pun). Dengan demikian, menurutnya, tak selayaknya bagi seorang hamba
menggantungkan harapan pada selain Allah, karena tak ada harapan yang bisa
tercapai dengan melampaui Allah. Ia berkata, “la tata’adda niyyatu himmatika
ila ghairihi fa al-karim la tatakhaththahu al-amalu” (janganlah cita-cita
atau harapanpum ditujukan pada selain Allah, sebab harapan seseorang tak akan
dapat melampaui Yang Maha Pemurah).
Kelima, ridha
(kerelaan), yaitu menerima putusan dan takdir Allah secara tenang. Kita harus
rela menerima; musibah itu terjadi sekarang dan bukan nanti; tsunami menerjang
kita dan bukan yang lain, yang hancur diserang angin puting-beliung itu
properti kita dan bukan yang lain. Sebab, semuanya itu berjalan mengikuti
ketentuan Allah, dan kita sebagai hamba-Nya tak ada cara lain kecuali ridha
menerimanya. Kita tahu, bila Tuhan berkendak, maka siapakah yang bisa
menghalangi kehendak-Nya. Dengan demikian, kerelaan menerima setiap takdir
adalah jalan etis satu-satunya. Cerita tentang kesengsaraan Nabi Ayub adalah
cerita tentang ke-ridha-an seorang hamba menghadapi ujian dan takdir Tuhannya.
Cerita ini terus diulang para mistikus untuk dijadikan teladan kerelaan dalam
menghadapi ujian atau penderitaan.
Wujud minimal dari ridha
adalah tak iri-dengki terhadap karunia yang diberikan Allah kepada orang lain.
Orang berada pada maqam ridha selalu riang dan gembira. Ia gembira menerima
musibah sebagaimana bahagia ketika mendapatkan anugerah. Penolakan dianggap
sebagai pemberian. Ibn Atha’illah berkata, “pemberian dari makhluk adalah
kerugian, dan penolakan dari Tuhan adalah kebaikan” (al-‘atha` min al-khalq
hirman wa al-man’u min Allah ihsan). Menurutnya, orang yang sedih dengan
penolakan Allah atas suatu permintaan menunjukkan ketidak-pahaman yang
bersangkutan pada Allah (innama yu`limuka al-man’u li’adami fahmika ‘an
Allah fihi). Selanjutnya, Ibn Atha’illah menegaskan, “ketika Allah memberi,
maka Dia sesungguhnya sedang memperlihatkan belas kasih-Nya kepadamu; dan
ketika Dia menolak memberimu, maka Dia sedang menunjukkan kekuasaan-Nya
kepadamu; dan di dalam semuanya itu, ia sesungguhnya hendak memperlihatkan diri
kepadamu dan ingin menjumpaimu dengan kelembutan-Nya” (mata a’thaka
asyhadaka birrahu, wa mata mana’aka asyhadaka qahrahu, fahuwa fi kulli dzalika
muta’arrifun ilaika wa muqbilun bi wujudi luthfihi ‘alaika).
Ujung dari semua tahapan
spiritual itu adalah perjumpaan dan penyatuan diri dengan Tuhan. Lalu para sufi
bisa menyaksikan Tuhan (ma’rifat), lebur (fana’-baqa), dan
mencintai Tuhan (mahabbah) secara tak tepermanai. Menurut Ibn
Atha’illah, keinginan kuat seorang arif untuk selalu bersama
Allah tak pernah hilang, dan bila ia bertumpu kepada selain-Nya tak pernah
tenang (al-‘arif la yazulu adhthiraruhu wa la yakunu ma’a ghair Allah
qararuhu). Para sufi ingin selalu bersama Allah. Ibn Atha’illah berkata, “ghayyib
nazhr al-khalq ilaika bi nazhr Allah ilaika, wa ghib ‘an iqbalihim ‘alaika bi
syuhudi iqbalihi ‘alaika” (hilangkan pandangan manusia terhadapmu karena
kau telah puas dengan penglihatan Allah kepadamu, dan abaikan perhatian mereka
kepadamu karena kau telah tahu bahwa Allah selalu memperhatikanmu).
Bagi Ibn Atha’illah, orang
yang telah mencapai ma’rifat akan menyaksikan Allah pada
segala sesuatu. Ia berkata, “siapa mengenal Allah, maka ia akan menyaksikan
Allah pada segala sesuatu. Siapa yang melebur dengan Allah, maka ia akan lupa
akan segala sesuatu. Siapa yang mencintai-Nya, maka ia akan mengutamakan Allah
ketimbang sesuatu yang lain” (man ‘arafaal-Haq syahidahu fi kulli syai’n. wa
man faniya bihi ghaba ‘an kulli syai’in. Wa man ahabbahu lam yu’tsir ‘alaihi
syai’an). Dengan menyaksikan Allah (ma’rifatullah), maka seseorang
akan mencitai-Nya (mahabbatullah). Dan mencitai Allah menyebabkan
seseorang tak berharap imbalan dari selain-Nya. Ibn Atha’illah berkata, “laysa
al-muhibb alladzi yarju min mahbubihi ‘iwadhan aw yathlubu minhu ‘aradhan. Fa
inna al-muhibb man yabdzulu laka. Laysa al-muhibb man tabdzulu lahu”
(pecinta bukan orang yang berharap imbalan dari Kekasihnya dan bukan pula orang
yang menuntut dipenuhinya suatu keperluan dari Kekasih. Pecinta adalah yang
“berkorban” kepada kepada-Mu, bukan yang Kau berkorban kepadanya.
Khatimah
Memperhatikan
ungkapan-ungkapan yang dikemukakan Ibn Atha’illah tersebut, beberapa hal
berikut bisa dikatakan. Pertama, tak seperti umumnya para teolog
yang suka bertikai mengenai definisi-definisi Tuhan, maka Ibn Atha’illah
melompat untuk merasakan kehadiran Tuhan melalui proses intuisi dan pengalaman
spiritual. Ini karena kenyataan-kenyataan dalam dunia rohani memang tak bisa
dijelajahi dengan argumen-argumen rasional.
Kedua, di tengah
masyarakat yang lebih mengunggulkan kekayaan materi-duniawi, apa yang
dikemukakan Ibn Atha’illah masih memiliki relevansi. Ketamakan manusia tak
hanya menyebabkan kehancuran alam, melainkan juga mengantarkan manusia yang
satu memangsa manusia yang lain. Merajalelanya perkara korupsi yang melibatkan
para pejabat publik di negeri ini menunjukkan bahwa betapa kerakusan para
koruptor dengan menumpuk-numpuk harta telah menghancurkan bangsa.
Ketiga, konsep
kepasrahan total kepada Allah yang diintroduksi Ibn Atha’illah akan memunculkan
kesalahpahaman di sebagian pihak; bahwa Ibn Atha’illah menganut faham fatalisme
(jabariyah) yang berujung pada kenaifan. Untung, sejarah menunjukkan
bahwa para sufi bukan sekelompok orang yang apatis menyaksikan ketidak-adilan. Mereka
adalah orang-orang yang gigih berjuang melawan kezaliman, kapan pun dan dimana
pun. [..]
Komentar Masuk (0
komentar)
Belum ada komentar
|
Agenda
Charlie Hebdo dan Islam di Eropa
"Charlie Hebdo dan Islam di Eropa"
Rabu, 21 Januari 2015, Pukul 19.00 WIB-selesai
Teater Utan Kayu
Pembicara:
Andar Nubowo (Direktur Indo Strategi)
Pangeran Siahaan (Jurnalis)
"Charlie Hebdo dan Islam di Eropa"
Rabu, 21 Januari 2015, Pukul 19.00 WIB-selesai
Teater Utan Kayu
Pembicara:
Andar Nubowo (Direktur Indo Strategi)
Pangeran Siahaan (Jurnalis)
MUI dan Islam Indonesia
Pasca-Reformasi
Rabu, 24 September 2014, Pukul 19.00- selesai
"MUI dan Islam Indonesia Pasca-Reformasi" Telaah atas disertasi Syafiq Hasyim Ph.D
Pembicara: Syafiq ...
Rabu, 24 September 2014, Pukul 19.00- selesai
"MUI dan Islam Indonesia Pasca-Reformasi" Telaah atas disertasi Syafiq Hasyim Ph.D
Pembicara: Syafiq ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar